Read more
Jika Akhi / Ukhti belum sempat membaca bab sebelumnya, akhi / Ukhti bisa dapat membacanya disini, atau jika Akhi / Ukhti berminat mendownload seluruh filenya dalam bentuk chm, akhi / ukti dapat mendownloadnya disini.
BAB IV.
PENGUMPULAN & PENERTIBAN AL-QUR’AN
Gambar Pengumpulan dan Penertiban Al-Qur'an |
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”
(QS. Al-Qiyamah [75] : 17)
BAB IV. PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN
A. Pada Masa Rasulullah SAW
Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Rasulullah SAW dapat dibagi dalam dua bagian :
1. Pengumpulan berupa
hafalan
Rasulullah SAW adalah hafidz
Qur’an pertama. Dan beliau SAW sangat menganjurkan para shahabat untuk menghafal
setiap kali turun. Imam Bukhari menyebutkan 7 (tujuh) hafiz di zaman
Rasul SAW yaitu : Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’dal, Muaz bin Jabal, Ubai
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan & Abu Darda.
Imam Ibn Hajar menambahkan Sa’id bin ‘Ubaid sebagai hafiz
dengan julukan Al-Qari.[1]
Menurut Imam
Al-Qurtubi, sebenarnya ada lebih banyak lagi hafiz bahkan beliau
mengatakan telah terbunuh 70 qari pada Perang Yamamah & terbunuh pula qari
sebanyak itu pada perang di Sumur Ma’unah.[2]
Abu Ubaid dalam Al-Qira’at
menyebutkan nama qari dari Muhajirin yaitu 4 (empat) Khulafaur
Rasyidin, Talhah, Sa’ad, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah
As-Sa’ib, empat Abdullah[3],
Aisyah, Hafsah dan Ummu Salamah. Dari Ansar adalah ‘Ubadah bin
Samit, Mu’az (Abu Halimah), Majma bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid
& Maslamah bin Mukhallad. Ditegaskannya sebagian mereka itu
menyempurnakan hafalannya sepeninggal Rasul SAW.
Al-Hafiz
Az-Zahabi
menyatakan dalam Tabaqatul Qurra’ bahwa jumlah qari itu adalah jumlah
mereka yang menunjukkan hafalan dihadapan Rasul SAW dan sanad-sanadnya sampai
kepada kita secara bersambung. Sedangkan shahabat yang hafal Qur’an namun
sanadnya tidak sampai kepada kita adalah banyak lagi.
2. Pengumpulan berupa
tulisan
Rasulullah SAW telah
mengangkat para penulis wahyu seperti Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin
Sabit, ‘Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid dan Tsabit bin Qays.[4]
Disamping itu para shahabat juga menulis sendiri wahyu untuk dirinya sendiri.
Zaid bin Sabit berkata,
“Kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah SAW pada kulit
binatang.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan sanad yang memenuhi persyaratan
Bukhari-Muslim)
Tulisan Qur’an pada masa
Nabi SAW belum terkumpul dalam satu mushaf. Ayat & surah dipisahkan atau
ditertibkan ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara
terpisah dalam tujuh huruf. Susunan penulisan Qur’an tidak menurut nuzulnya tapi
dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi.[5]
Belum terkumpulnya Al-Qur’an
dalam satu mushaf karena :
1. Turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur, membuat ia tidak mungkin dibukukan.
2. Adanya ayat yang dimansukh
selama proses penurunan.
3. Susunan turunnya ayat &
surat yang tidak teratur menyebabkan perubahan susunan tulisan.
4. Jarak waktu turunnya ayat
terakhir dengan wafatnya Rasulullah sangat pendek (sembilan hari).
5. Banyaknya penghafal
Al-Qur’an & segala fitnah dapat diatasi sehingga tidak ada alasan yang kuat
untuk membukukannya.
B. Pada Masa Abu Bakar
ra
Latar belakang dilakukannya
pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar ra adalah : Awal kepemimpinan Abu Bakar
ra diwarnai dengan kasus pemurtadan sebagian umat yang menuntut beliau untuk
memerangi mereka. Perang Yamamah (12 H) ini melibatkan banyak shahabat hafidz
Qur’an. Umar ra merasa khawatir & menghadap Abu Bakar, lalu mengusulkan agar
beliau mengumpulkan & membukukan Al-Qur’an. Abu Bakar ra kemudian meminta
Zaid bin Tsabit ra menulis & mengumpulkan Al-Qur’an. Berikut ini penuturan
dari Zaid :
Abu Bakar mengirimkan berita
kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur’an
sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada disamping Abu Bakar. Kemudian Abu
Bakar mengatakan, “Umar telah datang kepadaku & ia mengatakan :
‘Sesungguhnya pertempuran darah pada pertempuran Yamamah banyak menimpa para
Qurra. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap Qurra terus-menerus terjadi
disetiap pertempuran akan mengakibatkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Saya
berpendapat agar anda memerintahkan seorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an.’ Aku
(Abu Bakar) menjawab : ‘Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang
Rasul SAW tidak pernah melakukannya ?’ Umar menjawab : ‘Demi Allah, perbuatan
tersebut adalah baik.’ Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah
melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku
sependapat dengan Umar.” Zaid berkata : Abu Bakar
mengatakan, “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan
kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu
telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah … !” Zaid menjawab : Demi Allah
andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung, tidaklah akan berat
bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini …” Saya
mengatakan : Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW ? Abu Bakar menjawab, “Demi Allah hal ini adalah
baik.” Dan ia mengulanginya berulangkali sampai dadaku dilapangkan Allah SWT
sebagaimana Ia telah melapangkan dada Abu Bakar & Umar. Selanjutnya aku
meneliti & mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari
shahabat-shahabat yang hafal Al-Qur’an. Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir
surah At-Taubah dari Abu Khuzaifah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya.
(Yaitu QS. At-Taubah [9] : 128-129)”[6]
Zaid ra bertindak sangat
teliti. Ia akan mengumpulkan ayat Al-Qur’an hanya jika ayat itu ada pada hafalan
(hafalan yang dihafal dihadapan Rasul SAW) & tulisan (lembaran yang ditulis
dihadapan Rasul SAW) baik dari dirinya maupun dari para shahabat. Bahkan menurut
Imam Taqiyudin, untuk menerima tulisan, Zaid mensyaratkan disertainya dua orang
saksi yang adil, yang bersaksi bahwa penulisannya dilakukan dihadapan Rasul
SAW.[7]
Menurut Al-Qattan[8]
perkataan Zaid : “… Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah At-Taubah
dari Abu Khuzaifah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya.…” Tidaklah
berarti QS. At-Taubah [9] : 128-129 itu tidak mutawwatir.Tetapi maksudnya ialah
Zaid tidak mendapatkan akhir surah itu secara tertulis selain dari Abu
Khuzaifah. Karena ayat itu sendiri telah dihafal Zaid & para shahabat.
Perkataan itu muncul karena Zaid mensyaratkan adanya hafalan sekaligus tulisan.
Sehingga tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah
ahad.
Imam Taqiyudin An-Nabhani
mengatakan bahwa pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Zaid ra bukanlah penulisan
Al-Qur’an dari para penghafal. Melainkan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an
yang ditulis para penulis wahyu dihadapan Rasul SAW. [9]
Kemudian lembaran-lembaran
itu disimpan Abu Bakar ra. Setelah ia wafat (13 H), lembaran itu berpindah ke
Umar ra dan setelah Umar ra wafat, berpindah ke tangan Hafsah binti
Umar.
Abu Ya’la meriwayatkan dari Ali bin
Abi Thallib kw, dia berkata, “Orang yang paling besar pahalanya dalam masalah
Al-Qur’an adalah Abu Bakar. Karena Abu Bakar adalah orang yang pertama kali
menghimpun Al-Qur’an.” [10]
Keistimewaan pengumpulan
Qur’an di zaman Abu Bakar ra ini adalah :
1. Diperoleh dari hasil
penelitian yang sangat mendetail & kemantapan yang sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf
adalah terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh.
3. Ijma’
shahabat
terhadap mushaf tersebut secara mutawwatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat
Al-Qur’an.
4. Mencakup “tujuh huruf”
Qur’an yang dinukil berdasarkan riwayat yang shahih.
C. Pada Masa Utsman ra
Latar belakang pengumpulan
Al-Qur’an di zaman Utsman ra[11]
adalah : penyebaran Islam semakin luas & para qurra tersebar yang
mengakibatkan tersebar pula qira’at karena perbedaan ‘huruf’ yang
tujuh”. Ketika terjadi Perang Armenia & Azarbaijan dengan penduduk Irak,
Huzaifah bin Al-Yaman ra melihat adanya pertentangan antar umat yang
dapat memecah belah umat karena berbedanya pembacaan Qur’an. Kemudian Huzaifah
ra menceritakan hal ini kepada Utsman ra. Mereka kemudian bersepakat untuk
menyalin lembaran-lembaran Abu Bakar ra & menyatukan umat dengan ‘satu
huruf’. [12]
Melalui seorang utusan,
Utsman ra meminjam lembaran Abu Bakar ra kepada Hafsah. Kemudian Utsman ra
memerintahkan Zaid bin Tsabit Al-Ansari, Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin ‘As & Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk
menyalin & memperbanyak mushaf dengan bahasa Quraisy karena Qur’an turun
dengan logat Quraisy.
Setelah selesai, Utsman ra
kemudian mengembalikan lembaran Abu Bakar ra kepada Hafsah.[13]
Selanjutnya beliau mengirimkan mushaf baru ke setiap wilayah[14]
& memerintahkan membakar semua mushaf yang lain.
Suwaid bin Gaflah berkata
: Ali
kw
berkata,“Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang
dilakukannya mengenai mushaf-mushaf sudah atas persetujuan kami.”[15]
Pengumpulan di zaman Utsman
ra adalah menyalin Al-Qur’an dalam satu huruf yakni bahasa Quraisy diantara
ketujuh huruf Qur’an bertujuan untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu
mushaf & huruf yang disepakati. As-Suyuthi[16]
mengatakan bahwa Utsman adalah orang yang pertama kali menyatukan Al-Qur’an
dalam satu bacaan.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai jumlah mushaf yang dikirim Utsman ra, diantaranya :
1. Tujuh mushaf.[17]
Ibn Abu Daud mengatakan, “Aku mendengar Abu Hatim As-Sijistani berkata
: Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirim ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain
Basrah, Kufah, & sebuah ditahan di Madinah.
2. Empat buah.[18]
Berkata Abu ‘Amr Ad-Dani dalam Al-Muqni, “Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak empat
buah salinan yang dikirim ke setiap daerah masing-masing satu buah (yakni) ke
Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya
sendiri.”
3. Lima buah. Manna’ Al-Qattan
mengatakan bahwa As-Suyuthi mengatakan pendapat ini yang masyhur.[19]
D. Keraguan Akan Keaslian
Al-Qur’an
Masalah keraguan yang sering ditimbulkan orang-orang
tertentu mengenai Al-Qur’an. Keraguan yang selalu ditiupkan untuk melemahkan
kepercayaan umat Islam terhadap keaslian Al-Qur’an, diantaranya :
1. Ada beberapa bagian
Al-Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada ditangan kita saat
ini. Mereka beragumentasi dengan :
a. HR. Bukhari dari Aisyah, ia berkata
:
“Rasulullah SAW pernah
mendengar seorang membaca Al-Qur’an di masjid, lalu kata beliau, “Semoga
Allah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu & ayat anu dari
surah anu.”Dalam riwayat lain dikatakan, “Aku telah menggugurkannya dari
ayat ini dan ini.” Dan ada lagi riwayat yang mengatakan, “Aku telah
dibuat lupa terhadapnya.”
Argumentasi ini dijawab dengan mengatakan bahwa
kelupaan bisa saja terjadi pada Rasulullah SAW dalam hal yang tidak merusak
tabligh (penyampaian Al-Qur’an). Ash-Shabuni[20]
mengutip Ibnu Atiyah yang berkata, “Kelupaan dari pihak Nabi SAW menurut yang
dikehendaki Allah SWT agar nabi melupakannnya adalah jaiz & mungkin, baik
menurut agama maupun menurut akal. Akan tetapi tabiat lupa yang merupakan
penyakit manusiawi, maka nabi SAW terpelihara dari padanya. Baik sebelum maupun
sesudah disampaikannya kepada umat hingga beberapa shahabat
menghafalnya.”
Disamping itu, ayat-ayat Al-Qur’an tersebut telah
dihafal Rasul SAW & para shahabat ra sewaktu ia turun, juga telah dicatat.
Dengan demikian lupa yang dialami Rasul SAW sesudah itu, tidaklah mempengaruhi
kecermatan dalam pengumpulan Al-Qur’an.
b. QS. Al-A’la (87) :
6-7
:
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى(6) إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى
“Kami Akan membacakan
(Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah
menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang & yang
tersembunyi.”
Sebenarnya, ayat ini justru
menjelaskan bahwa Allah SWT telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan
Al-Qur’an & memeliharanya serta mengamankannnya dari kelupaan (QS. Al-A’la
[87] : 6). Namun memang ayat ini mengesankan seakan-akan hal itu merupakan
keharusan bagi Allah SWT, padahal Allah SWT dapat berbuat menurut kehendak-Nya
:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang
apa yang diperbuat-Nya & merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’[21] :
23)
maka
ayat itu disusul dengan QS. Al-A’la [87] : 7 untuk menunjukkan bahwa
pemberitahuan mengenai pembacaan Al-Qur’an kepada Rasul SAW & pengamanannya
dari kelupaan tidaklah keluar dari kehendak-Nya (bukan paksaan bagi Allah SWT),
sebab bagi Allah SWT tidak ada yang tidak dapat dilakukan-Nya. Dengan demikian,
maka yang dimaksud disini adalah peniadaan kelupaan secara total.
2. Al-Qur’an mengandung sesuatu
yang bukan Al-Qur’an. Mereka beragumentasi dengan :
a. Riwayat yang menceritakan
Ibnu Mas’ud mengingkari surah An-Nash & Al-Falaq
Argumentasi ini dijawab oleh
:
v Imam
An-Nawawi
berkata dalam Syarh Al-Muhazzab, “Kaum muslimin sepakat bahwa
kedua surah (An-Nash dan Al-Falaq) dan surah Al-Fatihah termasuk Qur’an. Dan
siapa saja yang mengingkarinya sedikitpun, ia adalah kafir. Sedangkan riwayat
yang diterima dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, tidak shahih.”
v Ibnu Hazm berpendapat riwayat Ibnu
Mas’ud tersebut merupakan pendustaan & pemalsuan atas nama beliau.[21]
b. Ibnu Mas’ud tidak memuat Al-Fatihah
dalam mushafnya
Argumentasi ini dijawab
dengan mengatakan bahwa Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, induknya Qur’an yang
statusnya Qur’aniyahnya tidak seorangpun meragukannya sebab itu Ibnu Mas’ud
tidak memasukkannya dalam mushafnya.
3. Golongan Syi’ah
ekstrim menuduh Abu Bakar ra, Umar ra & Utsman ra telah mengubah
Al-Qur’an.
Argumentasi ini terbantahkan
dengan kenyataan :
a. Sebagian ulama syi’ah
sendiri cuci tangan terhadap tuduhan ini, karena mereka tahu secara pasti bahwa
tuduhan tersebut adalah bathil, tanpa dasar.
b. Ali kw sendiri mengakui
keaslian Al-Qur’an, kata beliau :
v “Manusia yang paling berjasa
bagi mushaf-mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar ra, karena dialah orang yang
pertama mengumpulkan Kitabullah.”
v “Wahai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan (bermusuhan) terhadap Utsman
dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar mushaf. Demi Allah, ia membakarnya
berdasarkan persetujuan kami, shahabat-shahabat Rasulullah. Seandainya yang jadi
penguasa pada masa Utsman adalah aku, tentu akupun akan berbuat terhadap
mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Utsman.”
E. Tertib Ayat & Surat
Al-Qur’an terdiri dari
beberapa surah. Dimana surah mengandung ayat-ayat. Dalam banyak riwayat
dikhabarkan bahwa ayat-ayat di dalam surah yang sama tidak turun secara
berurutan. Begitu pula surah dalam Al-Qur’an, ia tidaklah turun seperti susunan
yang kita temui saat ini. Lalu, bagaimana para shahabat ra menyusunnya sehingga
Al-Qur’an kita dapati seperti sekarang ? Berikut akan dijelaskan mengenai
kemusykilan ini.
Tertib Ayat
Ulama sepakat bahwa tertib ayat
adalah bersifat tauqifi sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, berikut
argumentasinya :
1. Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan
& Abu Ja’far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah berkata,
“Tertib ayat didalam surah-surah ituberdasarkan tauqifi dari
Rasulullah SAW dan atas perintahnya tanpa diperselisihkan kaum
muslimin.”
2. Imam
As-Suyuthi
berkata,“Ijma’ & nash yang serupa menegaskan tertib ayat itu adalah
tauqifi tanpa diragukan lagi.”
Hadits
dari Rasul SAW :
“Utsman bin Abil ‘As
berkata, “Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi
tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian sabdanya, “Jibril telah datang
kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah
An-Nahl [16] : 90.” (HR. Ahmad dengan isnad hasan)
3. Terdapat sejumlah hadist
yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah tertentu. Jika tertibnya
dapat dirubah tentunya ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits
itu.
Diriwayatkan dari Abu Darda
dalam hadits marfu’:
“Siapa yang hafal 10 ayat
dari awal surat Al-Kahfi, Allah SWT akan melindunginya dari
Dajjal.”
Dan dalam redaksi lain dikatakan, “Siapa yang membaca 10 ayat terakhir dari
surah Al-Kahfi…” (HR. Muslim)
4. Rasulullah SAW telah membaca
sejumlah surah dengan tertib ayatnya dalam shalat maupun khutbah
Jum’at.
5. Ibnu Zubair berkata :
“Aku mengatakan kepada
Utsman bahwa Al-Baqarah [2] : 234 telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi mengapa
anda menulisnya atau membiarkannya dituliskan ?” Ia menjawab, “Kemenakanku, aku
tidak mengubah sesuatupun pada tempatnya.” (HR.
Bukhari)
6. Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani[22] mengatakan bahwa Jibril
selalu mengulangi & memeriksa hafalan Qur’an Rasul SAW ditiap bulan
Ramadlan, & pada bulan Ramadlan diakhir hidup Rasul SAW sebanyak dua
kali.
Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah orang yang paling pemurah & puncak kemurahannya pada Bulan
Ramadlan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada tiap Bulan
Ramadlan. Jibril membacakan Qur’an kepadanya & ketika Rasulullah ditemui
Jibril itu ia sangat pemurah sekali.” (HR. Muttafaq
‘Alaih)
Hadits
lain dari Aisyah ra dari Fatimah ra berkata :
“Nabi SAW menitipkan rahasia
kepadaku bahwa Jibril as memaparkan kepadaku Al-Qur’an setahun sekali & dia
memaparkannya kepadaku pada tahun ini sebanyak dua kali. Aku tidak melihatnya
hadir kecuali telah tiba saatnya ajalku.”
7. Iman Taqiyuddin
An-Nabhani[23]mengatakan susunan ayat-ayat
yang terkandung dalam setiap surat pada mushaf sekarang adalah tauqifi.
Usman ra mengatakan setelah Nabi SAW menerima wahyu, beliau bersabda :
“Letakkan ayat (ini) kedalam surat yang menyebutkan tentang ini.” Atau
dalam hadits shahih yang lain rasul SAW bersabda, “Letakkanlah ayat-ayat ini
didalam surat ini ini setelah ayat ini.”
Tertib Surat
As-Surah berasal dari kata
As-Su’ru yang artinya sisi minuman didalam bejana. Karena itu,
seakan-akan bagian dari Al-Qur’an. As-Surah juga berarti kedudukan yang
tinggi, sebab ia adalah kalam Allah SWT. Nama-nama surah Al-Qur’an ditetapkan
secara tauqifi. Ada beberapa surah yang mempunyai lebih dari satu nama.
Misalnya Al-Fatihah memiliki 20 nama diantaranya Fatihatul Kitab,
Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As-Sab’ul Matsani dll.
Al-Bara’ah juga dinamakan At-Taubah. Al-Isra juga dinamakan Banu Israil.[24]
Mengenai tertib surah
terjadi perbedaan pendapat.[25]
Pertama, bersifat tauqifi, dengan alasan bahwa Rasul SAW
telah membaca beberapa surah secara tertib didalam shalatnya.
Kedua, bersifat ijtihadi, dengan alasan adanya perbedaan
tertib didalam mushaf-mushaf shahabat[26]
& adanya keraguan Utsman ra mengenai keberadaan QS. Al-Anfal & QS.
Al-Bara’ah.[27]
Ketiga, sebagian tauqifi & sebagian ijtihadi,[28]
karena sebagian tertib surah ada dalilnya & yang lain tidak. Dari ketiga
pendapat itu berikut ini dijelaskan :
1. Menurut Manna’
Al-Qattan[29],
pendapat pertama dianggap paling kuat. Beliau berargumentasi dengan pendapat
Abu Bakar Ibnu Anbari yang mengatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan
Qur’an seluruhnya dilangit dunia, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan
Rasul SAW dimana letak ayat Al-Qur’an. Al-Kirmani mengatakan bahwa tertib
surah seperti saat ini adalah seperti di Lauh Mahfuz & menurut tertib
inilah Rasul SAW membacanya pada Jibril as setiap tahun di Bulan Ramadlan. Lalu
Al-Qattan mengatakan bahwa seandainya itu ijtihadi, tentu shahabat akan
tetap berpegang pada mushaf mereka bukannya Mushaf Utsmani.Mengenai keraguan
Utsman ra tentang QS. Al-Anfal & QS. Al-Bara’ah, isnadnya berkisar pada
Yazid Al-Farisi yang oleh Bukhari dikelompokkan sebagai dhu’afa (lemah).
Disamping itu menurut Syaikh A. Syakir (komentar dalam Musnad Ahmad), “Hadits
itu tak ada asal mulanya.” Paling jauh hadits itu menunjukkan
ketidaktertiban kedua surah itu. Lalu untuk pendapat ketiga, Al-Qattan
mengatakan bahwa tertib surah yang tidak didukung dalil tidak berarti
ijtihadi. Dan surah yang seperti ini jumlahnya hanya sedikit.
2. Pendapat
kedua, Imam
Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa susunan
surat-surat Al-Qur’an didasarkan pada ijtihad shahabat namun mengarah
pada ijma’ shahabat. Beliau mengatakan bahwa hadits Imam Ahmad
diatas adalah shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim. An-Nabhani juga
memaparkan bahwa Rasul SAW dalam shalat malamnya pernah membaca surah An-Nisa’
sebelum Ali Imran.[30]
M. Husain
Abdullah[31] mengatakan bahwa susunan
tersebut (mushaf Usman ra) tidak diingkari oleh seorang sahabat pun, oleh karena
itu hal ini merupakan suatu ijma’ shahabat yang merupakan salah satu
dalil yang diakui secara syar’i.
3. Pendapat ketiga, Ibnu
Hajar mengatakan bahwa tertib sebagian besar surah Al-Qur’an tidak dapat
ditolak adalah bersifat tauqifi. Namun mungkin juga yang telah tertib
pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain. Sementara
As-Suyuthi mengatakan bahwa surah Al-Qur’an pada masa Rasul SAW telah
tersusun seperti saat ini kecuali surah Al-Anfal & Al-Bara’ah. Pendapatnya
ini cenderung kepada pendapat Baihaqi.
Ketiga pendapat diatas tidak
didukung dengan hadits Rasul SAW yang secara tegas menjelaskan tertib surah
Al-Qur’an. Namun dapat dikatakan bahwa ketiganya (terutama pendapat pertama
& kedua) memberikan konsekuensi yang sama, bahwa tertib surah pada mushaf
Al-Qur’an saat ini wajib diikuti.
Jumlah surat, ayat, kata
& huruf Al-Qur’an
Jumlah surah Qur’an ada 114
surah. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa jumlah ayat-ayat Qur’an 6616 ayat
& jumlah hurufnya 323.671 huruf. Namun terdapat perhitungan lain yang
berbeda, walluhu a’lam. Ayat ialah kalimat dari Al-Qur’an. Ia diketahui
secara tauqifi bukan qiasi. Menurut kesepakatan tidak sah shalat
dengan membaca separuh ayat. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa ayat terpanjang
adalah ayat tentang hutang piutang sedangkan surah terpanjang adalah surah
Al-Baqarah.[32]
F. Empat Bagian
Al-Qur’an
Al-Qur’an dibagi menjadi
empat bagian, sabda Rasulullah SAW :
“Aku diberi As-Sab’ut Tiwal
(tujuh yang panjang) sebagai ganti Taurat, aku diberi Al-Miun (ratusan) sebagai
ganti Zabur, aku diberi Al-Matsani sebagai ganti Injil dan aku diberi kelebihan
dengan Al-Mufashshal.” (Dinukil dalam
Al-Itqan)
1. At-Tiwal
Ada tujuh surah yaitu
Al-Baqarah (286 ayat), Ali Imran (200 ayat), An-Nisa’ (176 ayat), Al-Maidah (120
ayat), Al-An’am (165 ayat), Al-A’raf (206 ayat) dan yang ketujuh -ada yang
mengatakan – Al-Anfaal (75 ayat) dan At-Taubah (129 ayat) sekaligus karena tidak
dipisahkan basmalah. Dan ada yang mengatakan surah Yunus (109 ayat).
2. Al-Miun
Surah-surah yang jumlah
ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3. Al-Matsani
Surah-surah yang
ayat-ayatnya dibawah Al-Miun. Dinamakan Al-Matsani karena surah itu
diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari At-Tiwal &
Al-Miun
4. Al-Mufashshal
Surah yang dimulai dari
surah Qaf ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Al-Hujarat atau yang lain.
Disebut Al-Mufashshal karena banyaknya fasl (pemisah) diantara
surah-surah itu dengan basmalah. Al-Mufashshal terbagi atas Tiwal,
Ausat dan Qisar.
G. Rasam Utsmani
Empat orang shahabat yang
mengumpulkan Al-Qur’an dimasa Uuman ra telah menempuh metode khusus dalam
penulisannya yang telah disetujui Usman ra. Sehingga metode itu dikenal dengan
Ar-Rasmul ‘Usmani lil Mushaf. Lalu bagaimana statusnya. Berikut ini akan
dibahas.
Hukum Rasam
Utsmani
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum memakai Rasam Utsmani :
1. Ada yang mengatakan wajib
dipakai karena bersifat tauqifi. Mereka menisbatkan dengan hadits
:
Mereka
menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis
wahyu, ”Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ‘ya’, bedakan ‘sin’,
jangan kamu miringkan ‘mim’, baguskan tulisan lafal ‘Allah’, panjangkan
‘Ar-Rahman’ dan letakkan penamu di telinga kirimu. Karena demikian akan lebih
dapat mengingatkanmu.”
Ibnu Mubarak mengutip dari gurunya,
Abdul Aziz Ad-Dabbag mengatakan kepadanya,“ Para shahabat dan
orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur`an karena
penulisan Qur`an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan
kepada mereka untuk menulisnya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang dengan
menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat
terjangkau oleh akal. Sebagaimana susunan Qur`an adalah mukjizat, maka
penulisannya pun mukjizat pula.
2. Banyak ulama yang mengatakan
bukan tauqifi dari Nabi SAW, hanya merupakan ijma’ shahabat.
Sehingga tetap wajib diikuti.
Asyhab berkata,“Malik ditanya : Apakah mushaf
boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang ? Malik
menjawab : Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.” (Riwayat
Abu ‘Amr Ad-Dani dalam Al-Muqni).
Kemudian kata Asyhab, “Dan tidak ada orang yang
menyalahi rasm itu diantara ulama umat Islam.”
Imam Ahmad berkata,“Haram hukumnya
menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dalam hal wawu, ya, alif atau yang lain.”
(Imam As-Suyuthi, Al-Itqan jilid 2 hal 168& Az-Zakasyi,
Al-Burhan jilid 1 hal 379)
3. Segolongan mengatakan Rasm
Utsmani hanya merupakan istilah sehingga boleh mempergunakan satu rasm tertentu
untuk imla’ ini bertujuan untuk memudahkan orang. Selain itu tidak ada
dalil yang menunjukkan harus diikuti.
Pembahasan Hukum Rasam
Utsmani
Imam Taqiyuddin
An-Nabhani
mengatakan bahwa penulisan mushaf bersifat baku dari Allah SWT. Segala sesuatu
yang unsur penyebabnya adalah samaa’ (pendengaran) merupakan sesuatu yang
bersifat tauqifi. Tidak terdapat riwayat adanya perselisihan dalam
penulisan mushaf berdasarkan pada tulisan yang ditulis dihadapan Rasulullah SAW.
Berarti itu merupakan ketetapan Rasul SAW & ijma’ shahabat yang
mengacu pada penulisan ini. Tauqifinya penulisan Al-Qur’an adalah terbatas pada
penulisan mushaf secara keseluruhan.[33]
Manna’
Al-Qattan[34] mengatakan bahwa sebenarnya
para penulis mushaflah yang mempergunakan istilah & cara tersebut pada masa
Utsman ra atas izinnya. Hal ini bisa diketahui ketika Utsman ra memberikan
pedoman :
“Jika kalian berselisih
pendapat dengan Zaid bin Sabit mengenai penulisan sebuah lafal Al-Qur’an, maka
tulislah menurut logat Quraisy. Karena ia diturunkan dalam logat mereka.”
Dan
ketika terjadi perselisihan dalam penulisan kata tabut ataukah
tabuh diantara empat orang tersebut, Utsman ra mengatakan :
“Tulislah tabut, karena
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”[35]
Manna’ Al-Qathan[36]melanjutkan,“Qur’an harus ditulis
dengan Rasm Utsmani yang sudah terkenal. Rasm Utsmani telah diakui &
diwarisi oleh umat Islam sejak masa Utsman ra. Pemeliharaan Rasm Utsmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan & pergantian
huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’
disetiap masa, maka ia akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa.
Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa
yang sama & bervariasi pula dalam beberapa kata diantara satu negeri dengan
negeri yang lain.”
Masih menurut Manna’
Al-Qattan bahwa dalam Syu’abul Iman, Imam Baihaqi mengatakan,
“Siapa yang menulis Mushaf, hendaklah ia memperhatikan ejaan yang mereka
pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal
itu & jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikitpun. Ilmu
mereka lebih banyak, lebih jujur hati & lisannya serta lebih dapat dipercaya
dari pada kita. Maka bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu
dari mereka.” [37]
Abu Bakar
Al-Baqalani
dalam Al-Intisar mengatakan bahwa tidak ada yang diwajibkan oleh Allah
SWT mengenai (cara/bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Al-Qur’an
& Mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada
mereka, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui
pendengaran & tauqifi. Tidak ada dalil baik dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’ Ummat juga Qiyas Syar’i. Hal tersebut karena
tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda & rasm yang berfungsi sebagai
isyarat, lambang & rumus.
Pendapat ketiga menurut saya
dapat dikatakan lemah, mengingat adanya kesepakatan penulisan mushaf di zaman
Usman ra. Pendapat pertama & kedua kiranya dapat disatukan dengan mengatakan
bahwa keduanya memberikan konskwensi sama bahwa tidak diperbolehkannya menulis
mushaf kecuali dengan merujuk kepada rasm Usmani. Pendapat kedua mengakui adanya
ijma’ shahabat tetapi menolak adanya hadits yang mendukung bahwa
penulisan itu adalah tauqifi. Padahal tauqifinya penulisan rasm,
bisa juga diambil dari ijma’ shahabat.
Perbaikan Rasam
Utsmani
Perbaikan Rasm Utsmani
pertama kali dilakukan oleh Abul Aswad Ad-Du’ali[38]
atas permintaan dari Ali kw.[39]
Awalnya Abul Aswad tidak hendak melakukannya. Tapi ketika ia mendengar seorang
qari’ yang salah membaca surat At-Taubah [9] : 3, maka akhirnya beliau
setuju. Beliau membuat tanda baca dalam Al-Qur’an. Tanda fathah (satu
titik diatas huruf), kasrah (satu titik dibawah huruf), dhamah
(satu titik disela huruf) & sukun (dua titik).
Kemudian Al-Khalil
mengubah tanda baca. Fathah (sempang diatas huruf), kasrah
(sempang dibawah huruf), dhamah (wawu kecil diatas huruf) &
tanwin (tambahan tanda serupa). Alif yang dihilangkan diganti, pada
tempatnya dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan ditulis berupa hamzah
dengan warna merah tanpa huruf. Pada ‘nun’ & ‘tanwin’ sebelum
huruf ‘ba’ diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang ‘nun’
& ‘tanwin’ sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun
dengan warna merah. ‘Nun’ & ‘tanwin’ tidak diberi apa-apa
ketika idgam & ikfa. Setiap huruf yang harus dibaca
sukun diberi tanda sukun & huruf yang di-idgam-kan
tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda
syaddah, kecuali huruf ‘ta’ sebelum ‘ya’, maka sukun
tetap dituliskan.
Abad ke-3 H terjadi
perbaikan & penyempurnaan. Huruf yang bersyaddah diberi seperti
busur, alif wasal diberi lekuk sesuai harkat sebelumnya. Kemudian
secara bertahap mulai diletakkan nama & jumlah ayat, rumus kepala ayat &
tanda waqaf, tanda juz, tanda hizb dll.
Para ulama pada mulanya
tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan
dalam Al-Qur’an berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud, “Bersihkan Qur’an &
jangan dicampuradukkan dengan apapun.” Kemudian akhirnya hal itu sampai
kepada hukum boleh & bahkan anjuran. Al-Hasan & Ibn Sirin
pernah berkata, “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.”[40]
Dan diriwayatkan dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan,” Tidak
mengapa memberi syakal pada mushaf.” An-Nawawi mengatakan,”Pemberian
titik & pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena dapat menjaga
mushaf dari kesalahan & penyimpangan.”[41]
˜™
[1] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
180-181.
[2] Menurut Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah Ibnu
Hisyam jilid 2 hal 151-156, mereka itu adalah delegasi Rasulullah SAW yang
dikirim untuk penduduk Nejed setelah Rasulullah SAW mendapat jaminan keamanan
dari Abu Bara’ bin Amir bin Malik bin Ja’far dengan tujuan mendakwahkan penduduk
Nejed. Mereka adalah shahabat pilihan yang berjumlah 40 orang dipimpin oleh
Al-Munzir bin Amr. Mereka semua dibunuh oleh Amir bin Tufa’il yang dibantu Bani
Sulaim di Bi’ru (sumur) Ma’unah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Safar tahun
ke-4 H.
[3] Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Amr bin
‘As, Abdullah bin Umar & Abdullah bin Zubair.
[4] Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal
40.
[5] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
185-187.
[6] HR. Bukhari dari Zaid bin Tsabit.
[11] Menurut Manna’Al-Qattan dalam Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an hal 200 bahwa pengumpulan dilaksanakan pada tahun 25
H.
[13]Lembaran ini tetap berada ditangan Hafsah hingga beliau
wafat, kemudian lembaran itu dibakar oleh Marwan bin Hakkam. (Studi
Dasar-dasar Pemikiran Islamhal 43). Menurut An-Nabhani, setelah
Hafsah meninggal, lembaran itu dirobek (bukan dibakar) oleh Marwan lalu beliau
berkata, “Aku melakukan ini karena khawatir terjadi keraguan yang
berkepanjangan dalam perkara tentang lembaran-lembaran tersebut.”
(Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah I hal 162)
[14] Mushaf yang ditulis Utsman ra itu hampir tidak dapat
ditemukan lagi. Ibnu Katsir pernah menemukan satu buah di Masjid Damsyik di
Syam. Dan diriwayatkan pula bahwa mushaf ini kemudian dibawa ke Inggris setelah
beberapa lama ditangan Kaisar Rusia di Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf
ini sudah terbakar di masjid Damsyik pada tahun 1310 H. (Studi Ilmu-ilmu
Qur’an hal 200)
[15]Tafsir At-Tabari
jilid I hal 61-62 yang disadur oleh Al-Qattan dalam Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an hal 195
[16] Tarikh Khulafa’ hal 192.
[18] Menurut M. Husain Abdullah dalam Studi
Dasar-dasar Pemikiran Islam hal 43 bahwa pendapat inilah yang paling
kuat.
[21] Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
203.
[22] Lihat Fathul Baari jilid I hal
49-51.
[24] Lihat Apa Itu Al-Qur’an hal 60.
[25]Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
207.
[26]Misalnya Mushaf Ali kw menurut tertib
nuzul, dimulai dengan Al-Iqra’, Al-Muddassir, Nun, Al-Qalam, Al-Muzzammil dst.
Mushaf Ibn Mas’ud ra dimulai dengan Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali
Imran dst. Mushaf Ubai ra dimulai dengan Al-Fatihah, Al-Baqarah,
An-Nisa’, Ali Imran dst.
[27] Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Utsman mengenai
penggabungan QS. Al-Anfal dan QS. At-Taubah dan meletakkannya pada As-Sab’ut
Tiwal. Ustman menjawab, “…Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam
surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian surah
Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak dijelaskan kepada kami…” (HR.
Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Hibbab & Hakim). Lihat Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 209.
[28] Ibnu Hajar mengatakan, “Tertib sebagian surah-surah
atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat tauqifi. Ini
menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang
adalah tertib surah pada masa Rasulullah. Namun Mungkin juga bahwa yang telah
tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.” (Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 210-211)
[31] Lihat Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal
40-41.
[32] Lihat Apa Itu Al-Qur’an hal 59.
[33]Lihat Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyyah I hal
163-165.
[34]Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
215.
[35]Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 248.
[36] Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
217.
[37] Al-Itqan jilid 2 hal 167 yang disadur dalam
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 218.
[38] Ada beberapa riwayat yang menisbatkan pekerjaan ini pada
Hasan Al-Basri atau Yahya bin Ya’mar ataupun Nasr bin ‘Asim
Al-Laisi. Menurut Manna’ Al-Qattan, Abu Aswad yang paling terkenal,
mungkin yang lain itu mempunyai upaya dalam perbaikan &
pemudahan.
[39] Ada yang mengatakan Abu Aswad membuat tanda baca atas
permintaan Ziyad (Gubernur Basrah). Namun As-Suyuthi mengatakan Abu Aswad
melakukannya atas perintah Abdul Malik bin Marwan.
[40] Diriwayatkan dari Ibn Abu Daud.
[41] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
220-221.
0 Reviews