Read more
Jika Akhi / Ukhti belum sempat membaca bab sebelumnya, akhi / Ukhti bisa dapat membacanya disini, atau jika Akhi / Ukhti berminat mendownload seluruh filenya dalam bentuk chm, akhi / ukti dapat mendownloadnya disini.
BAB V.
PERIHAL TURUNNYA AYAT AL-QUR’AN
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang diberkati.”
(QS. Ad-Dukhan [44] : 3)
BAB V. PERIHAL TURUNNYA AYAT AL-QUR’AN
A. Pengantar Awal
Turunnya Al-Qur’an merupakan
peristiwa besar yang harus kita ketahui & pelajari. Peristiwa turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai beberapa faedah yang dapat kita ambil, diantaranya
:
1. Menjelaskan perhatian yang
diberikan kepada Al-Qur’an guna menjaga & menentukan
ayat-ayatnya.
2. Mengetahui rahasia
perundang-undanganan Islam menurut sejarah sumber yang pokok.
3. Membedakan yang nasikh
wal mansukh.
Namun
sebelum kita mempelajari perihal turunnya ayat-ayat Al-Qur’an secara khusus, ada
baiknya kita pelajari dulu perihal turunnya Al-Qur’an secara umum.
B. Cara Turun
Al-Qur’an
Secara sepintas, nash Al-Quran menunjukkan cara turunnya
Al-Qur’an yakni : pertama, Al-Qur’an turun sekaligus. Hal ini
dapat dilihat pada firman Allah SWT :
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ...
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia & penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu & pembeda (antara
yang hak & yang bathil). …“ (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesunguhnya Kami telah
menurunkannya pada Lailatui Qadar.” (Al-Qadar [97]
:1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya pada malam yang diberkati.” (Ad-Dukhan [44] :
3)
Menurut Ar-Ragib
dalam Al-Mufradat bahwa ulama bahasa
membedakan antara kata ‘inzal’ dengan ‘tanzil’. Tanzil berarti turun secara
beransur-ansur sedangkan inzal hanya menunjukkan turun
atau menurunkan dalam arti umum.[1]
Kedua, Al-Qur’an turun bertahap,
hal ini dapat dilihat pada firman Allah SWT :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ
جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ
تَرْتِيلًا(32)وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيرًا
“Berkatalah orang-orang yang
kafir : "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja ?";
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara
tartil (teratur & benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar & yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan [25] :
32-33)
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Qur’an telah Kami
turunkan dengan beransur-ansur agar kamu membacanya pelahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Isra’ [17] :
106)
Ulama berbeda pendapat
mengenai perihal turunnya Al-Qur’an.Ada tiga[2]
sampai empat[3]
macam pendapat. Adapun pendapat itu adalah :
1. Ibn Abbas ra & sejumlah ulama
mengatakan Qur’an turun dari Lauh Mahfuz ke Baitul Izzah dilangit
dunia sekaligus pada malam Bulan Ramadlan, kemudian diturunkan kepada Rasul SAW
secara bertahap selama 23 tahun sesuai perbedaan tentang masa tinggal Rasul SAW
setelah kenabian.
2. Asy-Sya’bi[4] mengatakan bahwa Al-Qur’an
turun pertama kali pada Lailatul Qadar dibulan Ramadlan. Kemudian
turun secara bertahap selama 23 tahun.
3. Qur’an turun kelangit dunia
selama 23 tahun pada setiap Lailatul Qadar, lalu diturunkan
berangsur.
4. Qur’an diturunkan dari
Lauh Mahfuz sekaligus dan penjaganya mengansurnya kepada Jibril as selama
20 malam kemudian Jibril as menurunkan kepada Rasul SAW selama 20
tahun.
Al-Qurthubi menukil dari Muqatil bin
Hayyan riwayat tentang kesepakatan turunnya Qur’an sekaligus dari Lauhul
Mahfuz ke Baitul ‘Izzah dilangit dunia.
Imam As-Suyuthi
mengatakan
bahwa pendapat yang pertama adalah yang paling benar. As-Suyuthi
jugamengatakan, “... Maka dijadikan-Nya dua ciri tersendiri (yakni)
diturunkan sekaligus, kemudian diturunkan secara bertahap untuk menghormati
orang yang menerimanya.”
As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul
Qurra’, “Turunnya Qur’an kelangit dunia sekaligus menunjukkan
penghormatan kepada turunan Adam ...”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Al-Qur’an
diturunkan sekaligus dari lauh mahfuz ke Baitul Izzah dilangit dunia yang
terjadi pada bulan Ramadlan pada Lailatul Qadar. Kemudian dari Baitul Izzah
diturunkan beransur kepada Rasul SAW sesuai kebutuhan dalam jangka waktu 23
tahun.[5]
Imam Ali Ash-Shabuny
mengatakan
bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap yaitu dari Lauh Mahfuz ke
sama’ dunia secara sekaligus pada lailatul qadar. Dari
sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa 23 tahun.[6]
Pendukung pendapat kedua
mempertahankan pendapatnya dengan menolak pembedaan antara kata inzal
& tanzil. Mereka juga mengajukan dua argumentasi lain, yakni (1)
Turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfuz ke Baitul Izzah adalah perkara ghaib
sehingga membutuhkan dalil Syar’i. Sedangkan hadist dari Ibn Abbas itu tidak
marfu’ dan (2) Sebagian ayat Al-Qur’an juga dikatakan Al-Qur’an. Sehingga
turunnya sebagian ayat Al-Qur’an dapat juga dikatakan dengan turunnya
Al-Qur’an.
Manna’
Al-Qattan, berpendapat bahwa pendapat
kedua relatif sejalan dengan pendapat pertama & didukung dengan hadits
shahih sedangkan pendapat ketiga tidak berdasarkan dalil.[7]
Begitu pula dengan pendapat keempat.
C.
Hikmah Turun Bertahap
Al-Qur’an diturunkan secara
bertahap mengandung hikmah :
1. Menguatkan/meneguhkan hati
Rasulullah SAW.
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
...
“Maka bersabarlah kamu
seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari para Rasul telah
bersabar…” (Al-Ahqaf [46] :
35)
Contoh lain
ialah QS.
Al-Furqan (25) : 32, QS. Al-Kahfi (18) : 6, QS. Al-An’am (6) : 33-34, QS. Ali
Imran (3) : 184, QS. Hud (11) : 120, QS. Ya Sin (36) : 76, QS. Al-Maidah (5) :
67, QS. Al-Fath (48) : 3, & QS. Al-Mujadalah (58) : 21
2. Sebagai tantangan &
mukjizat.
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Dan tidaklah orang-orang
kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar & yang paling baik penjelasannya.”
(Al-Furqan [25] :
33)
Contoh lain
ialah QS.
Al-Qashsash (28) : 49, QS. Al-Isra’ (17) : 88, QS. Ath-Thur (52) : 34, QS. Hud
(11) : 13, QS. Yunus (10) : 38, QS. QS. Al-Baqarah (2) : 23-24
3. Mempermudah menghafal &
memahami Al-Qur’an.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dialah yang mengutus kaum
yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab &
Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (Al-Jumu’ah [62] :
2)
4. Kesesuaian peristiwa.
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي
الْأَرْضِ ...
“Tidak patut bagi seorang
nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi...”
(Al-Anfal [8] :
67-68)
Contoh lain
ialah QS.
At-Taubah (9) : 25-27 & 117-118
5. Bukti Kemaha Bijaksanaan
& Maha Tinggi Allah SWT.
الر
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ
خَبِيرٍ
“Inilah suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana & Mahatahu.” (Hud [11] :
1)
Contoh lain
ialah QS.
An-Nisa’(4) : 82
C. Ayat Pertama
Turun
Ulama berbeda pendapat
mengenai ayat yang pertama kali turun. Berikut ini dipaparkan perbedaan pendapat
itu :
1. QS. Al-Alaq
(96) :
1-5
Dalilnya hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dan yang lain dari Aisyah yang
menceritakan tentang mimpi Rasul SAW kemudian beliau SAW suka menyendiri di gua
Hira. Kemudian di gua Hira tersebut beliau SAW mendapat wahyu QS. Al-Alaq
(96).[8]
2. QS. Al-Muddassir
(74)
Dalilnya hadits Jabir
dari Abu Salamah bin Abdurrahman :
“Dia berkata : Aku telah
bertanya kepada Jabir bin Abdullah : Yang manakah diantara Al-Qur’an itu yang
diturunkan pertama kali ? Dia menjawab : Ya ayyuhal muddassir. Aku bertanya lagi
: Ataukah Iqra’ bismi rabbik ? Dia menjawab : Aku katakan kepadamu apa yang
dikatakan Rasul SAW kepada kami : “Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. …
Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan.
Maka aku pulang ke Khadijah. … Khadijah menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan :
Ya ayyuhal muddassir….” [9]
3. QS. Al-Fatihah
(1)
Dalilnya hadits riwayat
Abu Ishaq dari Abu Maisarah berkata :
“Rasulullah SAW mendengar
suara, ia berlari. Ia menyebutkan turunnya malaikat kepadanya serta kata-kata
malaikat itu : Katakanlah Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin….& seterusnya.” [10]
4. Basmallah
Karena basmalah itu turun
mendahului setiap surah. Dalilnya hadits dari Bisyir bin Imarah, dari
Adh-Dhahak dari Ibn Abbas, dia berkata :
“Sesungguhnya perkara yang
pertama kali diturunkan Jibril kepada Muhammad ialah ucapan “Hai Muhammad,
katakanlah : Aku berlindung kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari
setan yang terkutuk.” Kemudian Jibril berkata,
“Katakanlah bismillahirrahmanirrahim.” [11]
Pembahasan
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan
mengatakan sebagian ulama menyatukan hadits Aisyah dan Jabir, bahwa Jabir
mendengar Nabi SAW menyebutkan kisah permulaan wahyu dan Jabir mendengar bagian
akhirnya sedangkan bagian pertamanya tidak. QS. Al-Muddassir adalah surah yang
pertama kali turun secara penuh (lengkap) & merupakan surah pertama kali
turun setelah terputusnya wahyu. Dalilnya adalah hadits dari Jabir :
“Aku telah mendengar
Rasulullah SAW ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya
dalam pembicaraan itu : Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit.
Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di
gua Hira itu duduk dia atas kursi antara langit dan bumi. Lalu aku pulang dan
aku katakan : Selimuti aku ! Lalu Allah menurunkan : Ya ayyuhal muddassir.”
(HR.
Bukhari & Muslim)
Pendapat ini diperkuat oleh
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan mengatakan, “Yang pertama
kali diturunkan adalah Iqra’ digua Hira. Ketika kembali kepada Khadijah ra,
Allah SWT menurunkannya ‘Ya ayyuhal muddassir’.
Manna’
Al-Qattan[12] mengatakan bahwa dalil dari
pendapat ketiga & keempat adalah hadist mursal. Sehingga pendapat
yang pertama adalah lebih masyhur.
Qadi Abu
Bakar dalam
Al-Intisar mengatakan bahwa dalil dari pendapat ketiga adalah
munqati [13].
Kesimpulan yang dapat
diambil dari pembahasan ini adalah ayat yang pertama kali turun ialah Al-‘Alaq
[96] : 1-5 & merupakan isyarat kenabian Muhammad SAW, ayat yang pertama kali
turun mengenai perintah tablig adalah QS. Al-Muddassir dan merupakan
isyarat kerasulan Muhammad SAW & Al-Fatihah adalah surah (secara lengkap)
yang pertama kali turun.[14]
D. Ayat Pertama Turun
Mengenai Beberapa Perkara Penting
1. Perang
Ayat
pertama kali turun mengenai perang adalah :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang)
bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.”
(Al-Hajj
[22] : 39)[15]
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya,
“Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Tatkala Nabi SAW diusir
dari Mekkah, Abu Bakar ra berkata : Mereka telah mengusir nabinya.
Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah mereka kembali.
Niscaya dibinasakanlah mereka. Ibnu Abbas berkata, “Maka Allah menurunkan
ayat : ‘Telah …’ (Al-Hajj [22] : 39). Abu Bakar ra berkata : Maka sadarlah
aku bahwa sesungguhnya akan terjadi perang. Kisah ini diriwayatkan oleh
Ahmad. Lalu dia menambahkan, “Ibnu Abbas berkata : Ayat ini merupakan ayat yang
pertama diturunkan mengenai perang. Riwayat inipun dikatakan oleh Tirmidzi. Dia
menghasankannya. Hal ini menunjukkan bahwa surah tersebut merupakan surah
Madaniyah.”
Ayat tersebut merupakan ayat
Madaniyah. Inilah yang dijadikan dalil bagi pentahapan mengemban dakwah tanpa
angkat senjata sebelum mempunyai negara (kekuatan).
2. Minuman
Ayat yang turun mengenai
minuman adalah masalah khamar. Proses turunnya ayat khamar ini sering
dipergunakan orang sebagai dalil untuk menerapkan hukum Islam secara bertahap.
Berikut ini runtutan turun ayat yang mereka paparkan :
1. وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah kurma dan
anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi
orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl [16] :
67)
Mereka
mengatakan
apabila yang dimaksud ‘sakar’ ialah khamr & yang dimaksud
‘rezeki’ adalah kurma & kismis, maka pemberian predikat baik kepada
rezeki sementara sakar tidak diberinya merupakan indikasi bahwa dalam hal pujian
Allah SWT hanya ditujukan kepada rezeki & bukan sakar. Kemudian turun ayat
:
2. يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ...
“Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfa’at. …” (Al-Baqarah [2] :
219)
Mereka
mengatakanayat
ini belum mengharamkan khamar tapi hanya mengatakan besarnya kemudharatan
khamar. Ayat ini membandingkan antara manfa’at dengan mudharatnya &
menonjolkan segi bahayanya dari pada manfa’atnya. Kemudian turun ayat lagi
:
3. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ...
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, …” (An-Nisa’ [4] :
43)
Mereka
mengatakanayat
ini hanya melarang minum khamar diwaktu (akan) shalat. Kemudian turun ayat lagi
:
4.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90)إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
diantaramu kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (mengerjakannya).”
(Al-Maidah [5] :
90-91)
Mereka
menutup penjelasannya dengan mengatakanayat ini barulah
mengharamkan khamar.
Lalu apakah pembahasan itu
benar ? Sebenarnya pembahasan masalah khamar adalah proses nasikh wal
mansukh. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasan berikut :
Imam
Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir
mengatakan,“Adapun firman Allah QS. An-Nisa’ : 43, ayat ini bukanlah
menunjukkan pengharaman khamr, tapi lebih kearah pengharaman shalat sewaktu
mabuk.”
Imam At-Thabari
dalam
tafsirnya mengatakan bahwa,“Umar ra berdo’a kepada Allah SWT untuk diberikan
penjelasan nyata tentang khamr kemudian turun ayat 219 Al-Baqarah. Kemudian Umar
berdo’a lagi dengan do’a yang sama maka turun lagi ayat 43 An-Nisa’. Kemudian
Umar ra berdo’a lagi dengan do’a yang sama, maka turunlah ayat 90-91 Al-Ma’idah.
Dan Umar ra puas tidak berdo’a lagi”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
:
v Maka ayat ini
(Al-Baqarah : 219) merupakan pendahuluan bagi pengharaman khamar secara total.
Pengharaman dalam ayat ini secara sindiran & tidak jelas. Oleh karena itu
setelah Umar membaca ayat ini, dia berkata,”Ya Allah, terangkanlah kepada
kami ihwal khamar sejelas-jelasnya.” Kemudian turunlah penjelasan
pengharamannya dalam surah Al-Ma’idah (5) : 90-91[16].
v Allah SWT melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman melakukan shalat pada saat mabuk, yaitu ketika
seseorang yang shalat tidak mengetahui apa yang dia katakan. Pelarangan ini
terjadi sebelum pengharaman khamar...” [17]
v Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abu Hurairah, dia berkata, “Khamar diharamkan sebanyak tiga kali.
Rasulullah SAW tiba di Madinah sedang penduduknya masih meminum khamar &
memakan hasil judi. Kemudian mereka menanyakan kedua perbuatan itu kepada
Rasulullah. Maka Allah menurunkan ayat (Al-Baqarah : 219). Maka orang-orang pun
berkata,”Keduanya tidak diharamkan kepada kita. Dia hanya berfirman keduanya
mengandung dosa besar dan manfa’at bagi manusia...Sehingga Allah menurunkan ayat
lebih keras (An-Nisa’ : 43). Maka orang-orang pun masih meminum khamar...
Kemudian Allah menurunkan ayat yang lebih keras lagi (Al-Ma’idah : 90-91). Maka
orang-orang pun berkata, “Ya Allah, sekarang kami menghentikannya.” [18]
Oleh karena itu, masalah khamar adalah masalah
nasikh wal mansukh yang mana kita tidak boleh menjadikan ini sebagai
dalil untuk pentahapan penerapan syari’at Islam untuk saat ini. Tetapi harus
menjalankan langsung hasil akhirnya tanpa mengikuti proses pentahapannya. Karena
proses nasikh wal mansukh adalah pekerjaan Allah SWT sedangkan kita tidak
berhak untuk melakukannya.
3. Riba
Ayat yang diturunkan
berkenaan dengan riba dalam Al-Qur’an cukup banyak. Sehingga banyak orang
menganggap bahwa antara ayat-ayat tersebut terjadi proses nasakh wal
mansukh. Sehingga mereka mengatakan bahwa pengharaman riba oleh Allah SWT
adalah bertahap. Adapun urutan yang mereka ungkapkan adalah sebagai berikut
:
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا
يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ...
“Dan suatu riba yang kamu
berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti)
untuk menambah disisi Allah…” (QS. Ar-Ruum [30] :
39)
Mereka
mengatakan ayat
ini diturunkan di Makkah tetapi tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai
haramnya riba. Kemudian turun ayat :
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا(160)وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ...
“Maka lantaran kedzaliman
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka. Lantaran
perbuatan mereka yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
…” (QS.
An-Nisa [4] : 160-161)
Mereka
mengatakan ayat
ini diturunkan di Madinah sebelum Perang Bani Quraidzah. Ayat ini menggambarkan
sifat orang Yahudi yang menjalankan praktik riba. Lalu turun lagi ayat
:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali Imran [3] :
130)
Mereka
mengatakan ayat
ini diturunkan di Madinah & menunjukkan larangan tegas untuk melakukan salah
satu praktik riba yakni riba nasi’ah. Meski demikian, belum mengharamkan
secara mutlak seluruh bentuk riba. Kemudian turun lagi ayat :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, takutlah kepada Allah & tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba
jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2] :
278)
Mereka
mengatakan ayat
inilah yang mengharamkan segala bentuk praktik riba dengan tegas & bersifat
mutlak.
Apakah pembahasan ini tepat
? Sebenarnya pembahasan yang benar adalah, bahwa masalah riba tidaklah terjadi
nasikh wal mansukh. Ini dapat dilihat dari argumentasi berikut
:
1) Surah Ar-Ruum (30) : 39
Imam Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan
bahwa ayat ini tidaklah membahas masalah riba, melainkan membahas masalah
hadiah.
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dalam
tafsirnya, “Barang siapa yang memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
harapan orang tersebut akan membalas dengan pemberian yang lebih baik daripada
yang telah diberikan, maka pemberian yang demikian tidak berpahala disisi Allah
SWT.”
Jadi, kata riba disini
bukanlah riba yang dimaksud sebagai tambahan yang diperoleh dari seseorang yang
meminjamkan sesuatu dengan tempo. Tapi dalam arti bahasa, yaitu sebagai tambahan
saja.
2) Surah An-Nisa’ (4) : 160
-161
Ibnu Katsir mengomentari ayat
ini,“...disebabkan kedzaliman kaum Yahudi..., maka Allah mengharamkan kepada
mereka makanan yang sebelumnya dihalalkan untuk mereka,... Yakni tiada lain Kami
mengharamkan hal itu lantaran mereka berhak mendapatkannya sebab mereka
melampaui batas, durhaka ...”
Jelaslah bahwa ayat ini
menceritakan khusus orang Yahudi.
3) Surah Ali Imran (3) :
130
Sebenarnya ayat ini tidak
sekadar mengharamkan riba yang berlipat ganda, tapi semua jenis riba secara
keseluruhan. Memang benar ayat tersebut hanya menyebutkan riba yang biasa
terjadi pada saat itu, tapi tidak berarti hanya riba tersebut saja yang
diharamkan. Melainkan untuk semua jenis riba diharamkan. Penjelasan ini semua
dapat dilihat dalam kitab tafsir Fathur Qadir karangan Imam
Asy-Syaukani, Tafsir Ahkam karangan Imam As-Sayyis. Imam
Taqyudin An-Nabhani mengatakan bahwa ayat ini tidak ada mafhum
mukhalafahnya karena bertentangan dengan mantuknya. Sehingga tidak
dapat disimpulkan bahwa selain riba yang berlipat ganda adalah halal.
4) Surah Al-Baqarah (2) :
278
Imam
At-Thabari
dalam Al-Bayan mengatakan bahwa ayat ini bercerita tentang kaum yang baru
masuk Islam yang sebelumnya mereka melakukan riba yang belum tuntas. Dan Allah
SWT mema’afkan riba yang telah mereka ambil sebelum masuk Islam. Sementara sisa
riba setelah mereka masuk Islam disuruh untuk ditinggalkan.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
bahwa ayat ini terkait dengan cerita Zaid bin Aslam tentang bani Amr bin Umair
dari Tsaqif yang terkait riba dengan bani Mughirah dari Bani Makhzum sebelum
mereka masuk Islam. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan,“Ayat ini merupakan
peringatan keras & ancaman yang tegas bagi orang yang masih melaksanakan
praktik riba setelah diberi peringatan.”
Selain penjelasan diatas,
ayat 130 Ali Imran adalah lebih dahulu turun dari ayat 275 Al-Baqarah. Dalam
ilmu ushul fiqh, ayat yang mengkhususkan tidak mungkin turun dahulu dibanding
yang umum.
E. Ayat Terakhir
Turun
Ulama berbeda pendapat
mengenai ayat yang terakhir turun. Berikut ini macam-macam pendapat tersebut
:
1. QS. Al-Baqarah (2) :
278,
dalilnya :
“Ayat terakhir yang
diturunkan adalah ayat mengenai riba.” (HR. Bukhari dari
Ibnu Abbas)
Yang
dimaksud ialah ayat 278 Al-Baqarah.
2. QS. Al-Baqarah (2) :
281,
dalilnya :
“Ayat Qur’an terakhir kali
turun ialah : Dan peliharalah dirimu...(Al-Baqarah [2]: 281).”
(HR. An-Nasa’i dan lain-lain, dari Ibnu Abbas & Sa’id bin Jubair)[19]
3. QS. Al-Baqarah (2) :
282,
dalilnya :
“Telah sampai kepadanya
bahwa ayat Al-Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai utang.”
(HR.
Sa’id bin Al-Musayyab)
Yang
dimaksud adalah QS. Al-Baqarah [2] : 282
4. QS. An-Nisa’ (4) :
176,
dalilnya :
Bukhari &
Muslim meriwayatkan dari Barra’
bin ‘Azib, ia berkata : “Ayat yang terakhir kali turun adalah : “Mereka meminta
fatwa kepadamu… (An-Nisa’ [4] : 176).” [20]
5. QS. At-Taubah (9) :
128-129,
dalilnya :
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubai bin
Ka’b mengatakan : “Ayat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan ialah ayat yang
berbunyi : Sesungguhnya telah datang …(At-Taubah [9] : 128-129).” [21]
6. QS. Al-Maidah
(5),
dalilnya :
Al-Hakim meriwayatkan dari Jabir bin
Nafir dari Aisyah, dia berkata, “Sesungguhnya ia (surah Al-Ma’idah) merupakan
surat yang terakhir diturunkan.” [22]
7. QS. Ali Imran (3) :
195,
dalilnya :
Hadits
riwayat Ibn Mardawaih melalui Mujahid dari Ummu Salamah, dia berkata :
“Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat : “Maka Tuhan memperkenankan…
(Ali Imran [3] : 195).”
8. QS. An-Nisa’ (4) :
93,
dalilnya :
HR.
Bukhari
& lain-lain dari Ibnu Abbas Yang mengatakan : Ayat ini (An-Nisa’ [4] :
93) adalah ayat yang terakhir diturunkan & tidak dinasikh oleh
sesiapapun.”
9. QS. An-Nashr
(110),
dalilnya :
Ibnu Abbas mengatakan, “Surah
terakhir yang diturunkan ialah : “Apabila telah datang … (An-Nashr [110] :
1-3).”[23]
10. QS. Al-Ma’idah (5) :
3, dalilnya
:
Ayat
ini turun sewaktu haji wada’. HR. Bukhari menceritakan bahwa
seorang Yahudi datang menghadap Umar ra & berkata : Hai Amirul Mukminin !
Ada sebuah ayat dalam kitabmu yang kalau diturunkan kepada kami golongan Yahudi
niscaya hari turunnya itu akan kami jadikan sebagai hari besar. Umar ra
bertanya : “Ayat manakah yang anda maksud ?” Ia menjawab : “Firman
Allah, “Pada hari ini… (Al-Maidah [3] : 3)”. Seraya Umar ra menjawab :
“Demi Allah, sungguh aku tahu benar tempat diturunkannya ayat tersebut serta
saat dimana diturunkan. Ayat tersebut diturunkan pada waktu Rasul SAW berada di
Arafah, hari Jum’at setelah Ashar.” [24]
Pembahasan
Qadi Abu Bakar
Al-Baqalani
dalam Al-Intisar mengatakan bahwa semua hadist tersebut diatas tidak
disandarkan kepada Rasulullah SAW, jadi kemungkinan adalah ijtihad belaka. [25]
QS. An-Nisa’ [4] : 176 dapat
dialihkan menjadi ayat terakhir yang turun mengenai masalah warisan. QS.
At-Taubah [9] : 128 dapat dimengerti sebagai ayat terakhir surah At-Taubah. QS.
Al-Maidah [5] dapat dimengerti sebagai surah yang terakhir turun dalam hal halal
& haram sehingga tidak ada satupun hukum yang dinaskh didalammya. QS. Ali
Imran [3] : 195 dimengerti sebagai ayat terakhir dari tiga ayat mengenai
pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah. QS.An-Nisa’ [4] : 93 dari kata “tidak
dinasikh oleh sesiapapun”, menunjukkan bahwa ayat ini adalah ayat terakhir
turun dalam hukum membunuh mukmin dengan sengaja.
Imam Ali Ash-Shabuni
mengatakan
bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah Al-Baqarah [2] : 281. Ini adalah
pendapat yang benar & kuat menurut hasil seleksi para ulama yang tokohnya
As-Suyuthi. Dan Nabi SAW setelah turunnya ayat ini hanya hidup 9 (sembilan) hari
sebelum beliau wafat.[26]
M. Husain Abdullah
juga
mengatakan bahwa ayat yang turun terakhir adalah Al-Baqarah : 281.[27]
Manna’ Khalil
Al-Qattan
mengatakan QS. Al-Ma’idah [5] : 3 pada lahirnya menunjukkan penyempurnaan
kewajiban & hukum. Riwayat turunnya ayat riba, hutang-piutang,
kalalah dan lainnya adalah setelah QS. Al-Ma’idah [5] : 3. Ayat mengenai
riba (Al-Baqarah [2] : 278), ayat 281 Al-Baqarah & ayat hutang (Al-Baqarah
[2] : 282) adalah masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan dengan benar
tentang turunnya ayat-ayat tersebut. Sehingga riwayat pada pendapat 1, 2 & 3
dapat dipadukan dengan menghasilkan kesimpulan bahwa ketiga ayat itu turun
menurut tertib ayat.[28]
˜™
[2] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 145 –
151.
[3] Apa Itu Al-Qur’an hal 42.
[4] Beliau adalah tabi’in besar, ahli hadits & ahli
fiqh. Merupakan guru Imam Abu Hanifah yang terkemuka. Wafat 109
H.
[5] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir pada
pembahasan QS. Al-Baqarah [2] : 185, QS. Ad-Dukhan [44] : 3 & QS. Al-Qadar
[97] : 1.
[6] Pengantar Studi Al-Qur’an hal
55.
[7] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 150 –
151.
[8] Fathul Baari I hal 37-38.
[9] Fathul Baari I hal 45.
[10] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
94.
[11] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir I pada
pembahasan keutamaan basmallah.
[12]Lihat Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
92.
[13]Salah satu bagian hadits dla’if adalah hadits
munqati yaitu hadits yang sanadnya gugur satu orang rawi dalam satu
tempat atau lebih (baik diawal, ditengah ataupun diakhir), atau didalamnya
disebutkan seorang perawi yang mubham (tidak disebut namanya). (Ushul
Al-Hadits hal 305-306).
[15]Ada yang berpendapat bahwa QS. Al-Ankabut [29] : 6 adalah
ayat pertama yang berbicara masalah jihad dengan alasan bahwa QS. Al-Ankabut
adalah surah Makkiyah sedangkan QS. Al-Hajj [22] adalah Madaniyah. Pendapat ini
dipaparkan bertujuan untuk menggugat defenisi jihad yang bermakna perang. Karena
perintah perang baru turun setelah periode Madinah. Sehingga mereka mengatakan
bahwa kata jihad dalam Al-Qur’an tidak selalu berarti perang. Pendapat ini
adalah salah. Karena QS. Al-Ankabut memang benar adalah surah Makkiyah tetapi
khusus QS. Al-Ankabut [29] : 6 adalah ayat Madaniyah. Ini dibahas dalam bahasan
ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah. (Lihat pembahasan pada bab VI). Sehingga
setiap ayat yang berbicara tentang jihad adalah ayat Madaniyah.
[16] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir I yang
membahas QS. Al-Baqarah [2] : 219.
[17] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir I yang
membahas QS. An-Nisa’ [4] : 43.
[18] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir II yang
membahas QS. Al-Ma’idah [5] : 90-91.
[19] Ibnu Katsir
dalam tafsirnya berkata,”Setelah turun ayat ini Nabi SAW hidup selama 9 hari,
kemudian meninggal pada malam Senin 27 Rabi’ul awal. Demikian menurut riwayat
Abu Hatim. Diriwayatkan pula oleh Ibn Mardawih dari Ibn Abbas, dia berkata,
“Ayat yang terakhir diturunkan adalah : ‘Dan peliharalah dirimu …’
(Al-Baqarah [2] : 281).” Ibnu Juraij berkata, “Orang-orang
mengatakan bahwa Nabi SAW hidup selama 9 hari setelah ayat ini turun yaitu sejak
hari Sabtu & beliau wafat pada Senin. Demikianlah menurut keterangan Ibnu
Jarir.”
[20] Ibnu Katsir juga memuat riwayat ini dalam
tafsirnya sewaktu membahas QS. An-Nisa’ [4] : 176.
[21] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir yang membahas
QS. At-Taubah [9] : 128.
[22] Hadits ini lebih lengkapnya tercantum pada Ringkasan
Tafsir Ibn Katsir II yang membahas QS. Al-Ma’idah.
[23] Ibnu Katsir dalam tafsir sewaktu membahas QS.
An-Nashr [110] mengatakan, “Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibn Abbas berkata,
“Ketika turun ayat ‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’,
Rasululllah SAW mengatakan, ‘Kematian diriku telah diumumkan’.Beliau
wafat tahun itu.”
[24] Ibnu Katsir dalam tafsirnya sewaktu membahas QS.
Al-Maidah [5] : 3 menyebutkan bahwa Rasulullah SAW meninggal 81 hari setelah
hari Arafah.
[25] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
100.
[26] Pengantar Studi Al-Qur’an hal
30.
[27] Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal
31.
[28] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal
96-99.
0 Reviews